Tragedi Al Khoziny: Ketika Air Mata Menjadi Komoditas

al khoziny
Foto : Capture headline media dan Influencer tentang tragedi Al Khoziny

KATAMADURA.com – Tragedi runtuhnya musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo bukan hanya menyisakan duka mendalam bagi para keluarga korban, tetapi juga menyisakan pertanyaan serius tentang bagaimana media di negeri ini memperlakukan sebuah musibah.

Di tengah reruntuhan bangunan dan tangis kehilangan, sebagian media justru menjadikan pernyataan pengasuh pondok sebagai bahan bakar kontroversi.

Ucapan “ini takdir Allah” yang sejatinya bernada religius dan menenangkan, diubah menjadi headline yang menyulut emosi: “Kiai Sebut Tragedi Al Khoziny sebagai Takdir, Wali Santri Protes”. seperti yang dimuat oleh beritajatim.com

Ketika Emosi Lebih Laku daripada Empati

Dalam industri media digital hari ini, emosi adalah komoditas paling mahal. Setiap klik, komentar, dan share bernilai uang.

Maka tak heran, banyak media memilih sudut berita yang paling mampu memicu kemarahan publik.

Alih-alih menghadirkan kedalaman makna spiritual di balik kata “takdir”, media lebih senang menonjolkan reaksi publik yang marah, menyorot potongan kalimat tanpa konteks, dan memperuncing jurang antara tokoh agama dan masyarakat.
Hasilnya: duka berubah jadi drama, dan tragedi berubah jadi lalu lintas digital.

Framing yang Menyulut Luka

Fenomena ini dikenal dalam dunia komunikasi sebagai “conflict framing” — strategi pemberitaan yang menonjolkan konflik, bukan konteks.
Framing seperti ini mungkin efektif secara statistik, tapi mematikan secara moral.

Keluarga korban yang tengah berduka kembali disayat oleh komentar publik yang terprovokasi oleh judul sensasional.

Sementara, pengasuh pondok yang berniat menenangkan umat justru diposisikan seolah tak berperasaan.

Padahal, dalam tradisi pesantren, menyebut musibah sebagai “takdir” bukan bentuk lari dari tanggung jawab, melainkan cara menundukkan diri di hadapan kehendak Ilahi.

Berita lainnya !

Bagikan:

Tinggalkan komentar