Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akhirnya resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Gelaran formal di Gedung Nusantara, Senayan, berlangsung megah, dan dihadiri banyak pejabat penting, mantan presiden, serta utusan asing. Semua orang terlihat berseri-seri, seolah yakin bahwa masa depan Indonesia sudah pasti akan lebih baik di bawah duet baru ini.
Tapi tunggu dulu, jangan terlalu cepat bersorak, mari kita kupas satu per satu kebijakan utama yang diusung, dan lihat apakah janji mereka benar-benar seindah yang terlihat atau hanya setumpuk mimpi di atas kertas.
Badan Penerimaan Negara (BPN): Sebuah Ide yang Tidak Diterima
Kebijakan pertama yang menarik perhatian adalah rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Sejujurnya, ide ini terdengar brilian. Dengan menyatukan pendapatan dari pajak, non-pajak, dan bea cukai dalam satu pintu, kita bisa berharap bahwa birokrasi akan lebih ramping dan pendapatan negara akan meningkat.
Namun, tampaknya ide cemerlang ini langsung terganjal oleh seorang tokoh yang mungkin lebih berpengaruh dari Presiden sendiri: Sri Mulyani.
Menurut informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak setuju dengan ide BPN, dan karena itu, rencana tersebut ditunda. Lucu, bukan? Seorang presiden dengan ambisi besar, namun kebijakan pertamanya terpaksa ditunda karena menteri keuangannya tidak setuju. Ini mengingatkan kita pada pepatah lama: “Raja yang kuat, tapi patihnya lebih kuat.” Di satu sisi, argumen Sri Mulyani mungkin masuk akal, mengingat pemisahan institusi bukan solusi instan untuk masalah perpajakan.
Tetapi di sisi lain, bukankah seharusnya presiden punya keputusan final?Secara ilmiah, pembentukan lembaga baru dalam pemerintahan biasanya membutuhkan waktu, penyesuaian struktural, dan biaya yang besar. Ini seringkali malah membuat sistem lebih kompleks daripada lebih efisien.
Apalagi, Indonesia sudah berjuang dengan sistem perpajakan yang rumit dan inefisien. Rencana ini tampaknya tidak akan berjalan mulus, dan bahkan mungkin berakhir hanya sebagai angan-angan yang tertunda untuk jangka waktu yang tidak diketahui.
Pemangkasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan: Sebuah Kebijakan Populer dengan Efek Domino
Lalu, Prabowo juga menjanjikan pemangkasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22% menjadi 20%. Bagus, kan? Dunia usaha tentu bersorak gembira, karena siapa yang tidak mau bayar pajak lebih sedikit? Tapi, mari kita berhenti sejenak dan pikirkan efek jangka panjangnya.
Secara teori, menurunkan PPh Badan bisa mendorong kepatuhan pajak dan meningkatkan investasi. Namun, fakta ilmiahnya adalah: ketika pajak diturunkan, penerimaan negara juga berkurang, setidaknya dalam jangka pendek.
Untuk negara seperti Indonesia, yang punya defisit anggaran kronis, apakah langkah ini benar-benar realistis? Bahkan sebelum pengurangan pajak ini, pemerintah sudah diprediksi memiliki selisih belanja yang cukup besar, dan jika penerimaan dari pajak menurun, siapa yang akan menutupinya? Ah, tentu saja, rakyat jelata yang selalu diharapkan berkorban lebih banyak.
Satu pemikiran pada “Prabowo dan Gibran: Menjanjikan Langit, Tapi Hati-Hati dengan Gravitasi”