Politik dan Agama: Demokrasi atau Dogma di Medan Pilkada?

Politik
Ilustrasi Politik dan Agama

Kenapa Politik dan Agama Jadi Duet Maut?

Di negeri kita, yang namanya politik dan agama seperti dua sejoli yang nggak bisa dipisahkan. Masuk ke ranah politik itu rasanya nggak afdol kalau nggak ada “bumbu” agama, bahkan bisa dibilang ini sudah jadi resep utama untuk menarik simpati masyarakat.

Baru-baru ini, ada Ketua DPD PDI-P Jatim, Said Abdullah, yang main ke kediaman ulama Bangkalan, Ra Imam Buchori Cholil. Dengan suasana “penuh kekeluargaan,” mereka diskusi tentang dukungan untuk Risma-Gus Hans sebagai Calon Gubernur Jawa Timur, dan pasangan Lukman-Fauzan sebagai Calon Bupati Bangkalan.

Pertanyaannya nih, apakah dukungan para ulama ini bener-bener murni buat masyarakat, atau hanya sebatas permainan politik? Apakah kita sedang berada di era demokrasi atau justru dogma terselubung?

Politik Islam: Ibn Khaldun dan “Asabiyah” yang Jadi Alat

Mari kita mundur jauh ke pemikiran Ibn Khaldun, seorang filsuf dan politikus Muslim yang terkenal dengan konsep ‘asabiyah atau solidaritas kelompok. Ibn Khaldun bilang, dalam setiap masyarakat, ada kekuatan kelompok atau asabiyah yang jadi penggerak utama kekuasaan.

Dalam konteks Pilkada, asabiyah ini hadir dalam bentuk hubungan dekat antara ulama dan politisi. Said Abdullah paham betul bahwa dengan dekat sama ulama, dia bisa memanfaatkan asabiyah ini untuk menggerakkan simpati dan suara santri dan warga nahdliyin di Bangkalan. Makanya, jadi wajar kalau dia main ke rumah ulama setempat buat meraih dukungan.

Baca Juga !  Omzet Naik 130%! Pengusaha Sablon dan Printing Panen Pesanan di Masa kampanye

Tapi, kita perlu kritis nih: Apakah asabiyah ini sehat dalam demokrasi? Ibn Khaldun memang bilang kalau asabiyah bisa memperkuat sebuah kelompok, tapi juga bisa bikin satu kelompok merasa eksklusif dan punya kepentingan yang berbeda dengan masyarakat umum.

Ketika ulama dan politisi bersatu demi kepentingan mereka, justru masyarakat bisa jadi nggak punya pilihan lain selain ikut. Lalu, di mana letak kebebasan berdemokrasi kalau yang kita lihat adalah solidaritas yang eksklusif ini?

Al-Farabi: Masyarakat Utama atau Cuma Pengikut?

Pemikiran al-Farabi, seorang filsuf Islam yang dikenal dengan konsep al-madina al-fadhila atau “kota utama,” menyoroti bahwa pemimpin itu seharusnya orang yang bijaksana, bukan yang sekadar pintar bersekongkol. Al-Farabi punya pandangan soal pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan dan moral, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Idealnya, pemimpin di “kota utama” harus membangun masyarakat berdasarkan kebajikan dan keadilan, bukan mengandalkan kedekatan dengan kelompok tertentu.

Kalau kita melihat fenomena Said Abdullah dan Ra Imam ini dari kacamata al-Farabi, rasanya mereka belum sampai pada idealnya pemimpin dalam “kota utama.” Kalau dukungan masyarakat di Bangkalan bergantung pada pengaruh ulama besar, apa ini demokrasi atau sekadar patronase ala politik lama?

Berita lainnya !

Bagikan:

Tinggalkan komentar