Kenapa Politik dan Agama Jadi Duet Maut?
Di negeri kita, yang namanya politik dan agama seperti dua sejoli yang nggak bisa dipisahkan. Masuk ke ranah politik itu rasanya nggak afdol kalau nggak ada “bumbu” agama, bahkan bisa dibilang ini sudah jadi resep utama untuk menarik simpati masyarakat.
Baru-baru ini, ada Ketua DPD PDI-P Jatim, Said Abdullah, yang main ke kediaman ulama Bangkalan, Ra Imam Buchori Cholil. Dengan suasana "penuh kekeluargaan," mereka diskusi tentang dukungan untuk Risma-Gus Hans sebagai Calon Gubernur Jawa Timur, dan pasangan Lukman-Fauzan sebagai Calon Bupati Bangkalan.
Pertanyaannya nih, apakah dukungan para ulama ini bener-bener murni buat masyarakat, atau hanya sebatas permainan politik? Apakah kita sedang berada di era demokrasi atau justru dogma terselubung?
Politik Islam: Ibn Khaldun dan "Asabiyah" yang Jadi Alat
Mari kita mundur jauh ke pemikiran Ibn Khaldun, seorang filsuf dan politikus Muslim yang terkenal dengan konsep 'asabiyah atau solidaritas kelompok. Ibn Khaldun bilang, dalam setiap masyarakat, ada kekuatan kelompok atau asabiyah yang jadi penggerak utama kekuasaan.
Dalam konteks Pilkada, asabiyah ini hadir dalam bentuk hubungan dekat antara ulama dan politisi. Said Abdullah paham betul bahwa dengan dekat sama ulama, dia bisa memanfaatkan asabiyah ini untuk menggerakkan simpati dan suara santri dan warga nahdliyin di Bangkalan. Makanya, jadi wajar kalau dia main ke rumah ulama setempat buat meraih dukungan.
Tapi, kita perlu kritis nih: Apakah asabiyah ini sehat dalam demokrasi? Ibn Khaldun memang bilang kalau asabiyah bisa memperkuat sebuah kelompok, tapi juga bisa bikin satu kelompok merasa eksklusif dan punya kepentingan yang berbeda dengan masyarakat umum.
Ketika ulama dan politisi bersatu demi kepentingan mereka, justru masyarakat bisa jadi nggak punya pilihan lain selain ikut. Lalu, di mana letak kebebasan berdemokrasi kalau yang kita lihat adalah solidaritas yang eksklusif ini?
Al-Farabi: Masyarakat Utama atau Cuma Pengikut?
Pemikiran al-Farabi, seorang filsuf Islam yang dikenal dengan konsep al-madina al-fadhila atau "kota utama," menyoroti bahwa pemimpin itu seharusnya orang yang bijaksana, bukan yang sekadar pintar bersekongkol. Al-Farabi punya pandangan soal pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan dan moral, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Idealnya, pemimpin di "kota utama" harus membangun masyarakat berdasarkan kebajikan dan keadilan, bukan mengandalkan kedekatan dengan kelompok tertentu.
Kalau kita melihat fenomena Said Abdullah dan Ra Imam ini dari kacamata al-Farabi, rasanya mereka belum sampai pada idealnya pemimpin dalam "kota utama." Kalau dukungan masyarakat di Bangkalan bergantung pada pengaruh ulama besar, apa ini demokrasi atau sekadar patronase ala politik lama?
Dalam politik ala al-Farabi, rakyat harus punya ruang buat memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa keadilan, bukan karena dipengaruhi oleh dominasi tokoh agama tertentu. Jadi, masih jauh nih kalau kita mau bilang bahwa masyarakat Bangkalan benar-benar punya kebebasan memilih.
Agama sebagai Alat atau Pegangan? Pandangan al-Mawardi
Al-Mawardi, seorang pemikir dan ahli politik Islam lainnya, punya konsep soal wilayah al-siyasa atau politik dalam agama. Menurut al-Mawardi, agama memang boleh banget dijadikan panduan dalam politik, tapi harus dengan tujuan yang benar: demi kesejahteraan rakyat dan untuk menjalankan pemerintahan yang adil.
Nah, masalahnya sekarang, apa benar niat di balik dukungan politik ala Said Abdullah dan ulama Bangkalan ini buat kepentingan rakyat, atau justru buat memperkuat posisi politik kelompok mereka?
Kalau al-Mawardi melihat fenomena ini, dia mungkin akan bilang bahwa agama harusnya jadi pegangan moral, bukan jadi alat lobi politik. Dukungan atas nilai Aswaja misalnya, bukan berarti harus didorong demi ambisi calon tertentu. Kalau agama dipakai cuma buat “branding” politik, bukankah ini jadi merendahkan nilai-nilai luhur agama itu sendiri?
Demokrasi Ala Abu Zayd: Kebebasan atau Kepatuhan?
Tokoh kontemporer, Nasr Hamid Abu Zayd, punya pandangan yang lebih kritis lagi soal agama dalam politik. Dia sering bilang kalau agama nggak seharusnya jadi alat untuk membatasi kebebasan masyarakat.
Menurutnya, agama itu urusan personal dan spiritual, bukan alat kontrol yang bisa memaksa rakyat buat mengikuti arah tertentu. Kalau Said Abdullah dan Ra Imam bilang bahwa dukungan ini buat kebaikan masyarakat, kita perlu tanya lagi: Apakah ini benar-benar kebaikan atau justru membatasi pilihan masyarakat?
Abu Zayd bilang bahwa dalam demokrasi yang sehat, kebebasan adalah hak paling dasar. Kalau rakyat Bangkalan disuruh dukung Lukman-Fauzan dan Risma-Gus Hans karena ada peran ulama, berarti ada dominasi yang terselubung di sini.
Demokrasi rasa “setengah bebas” ini justru nggak sehat karena kebebasan memilih sudah dicampuri dengan pengaruh tokoh agama yang kuat. Alhasil, masyarakat jadi nggak bisa memilih secara bebas karena mereka merasa harus mengikuti pilihan ulama.
Pertaruhan Demokrasi: Dogma atau Pilihan Bebas?
Di akhir cerita, fenomena ini jadi pertaruhan buat demokrasi kita sendiri. Kalau peran ulama begitu besar dalam menentukan arah politik, rakyat yang seharusnya punya pilihan malah terpinggirkan. Ibn Khaldun mungkin bilang asabiyah ini penting buat solidaritas, tapi kalau terlalu berlebihan, justru bisa bikin demokrasi jadi dogma.
Lalu, gimana nasib kebebasan dalam demokrasi kita? Al-Farabi bilang pemimpin itu harus bijaksana dan adil, bukan yang mengandalkan patronase agama buat meraih suara. Sedangkan al-Mawardi dan Abu Zayd sama-sama sepakat kalau agama itu seharusnya jadi pegangan moral yang bijak, bukan sekadar alat buat mendulang dukungan.
Kalau dukungan politik terlalu kuat dipengaruhi oleh tokoh agama, maka kebebasan rakyat dalam memilih jadi semakin sempit.
Penutup: Antara Demokrasi dan Keberanian untuk Memilih
Pada akhirnya, yang namanya demokrasi sejati itu harus memberi ruang pada kebebasan individu. Masyarakat Bangkalan, atau di mana pun itu, harus punya kebebasan buat memilih tanpa merasa ditekan oleh pengaruh agama atau politik.
Agama itu memang penting sebagai panduan moral, tapi harus hati-hati biar nggak berubah jadi alat buat ngatur-ngatur pilihan rakyat.
Mari kita sadar, bahwa kebebasan memilih adalah hak setiap warga negara. Jangan sampai, di balik silaturahmi dan dukungan ulama, kita jadi kehilangan hak buat memilih sesuai nurani.