Empat Alasan Gibran Dianggap Beban dalam Dinamika Politik

Gibran

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, menghadapi sorotan tajam sejak terjun ke dunia politik. Meski memiliki popularitas dan potensi sebagai politisi muda, ia sering dianggap sebagai “beban” oleh sebagian pihak.

Ada empat alasan utama yang menjadi dasar pandangan ini: stigma politik dinasti, Miskin pengalaman politik, citra publik yang problematis, dan kerentanan terhadap serangan politik.

Keempat faktor ini tidak hanya menjadi tantangan bagi Gibran, tetapi juga berdampak pada stabilitas koalisi politik yang mendukungnya.

Dinamika Politik Dinasti

Keterlibatan Gibran dalam politik sering dianggap memperkuat stigma politik dinasti di Indonesia. Sebagai anak Presiden, banyak yang menilai langkah politiknya lebih didasarkan pada privilese keluarga daripada kemampuan individu.

Kritik ini sering dilontarkan oleh pihak yang menilai politik Indonesia harus bebas dari pengaruh nepotisme. Bagi sebagian besar masyarakat yang mengedepankan demokrasi berbasis meritokrasi, keterlibatan Gibran dianggap mencederai prinsip kesetaraan peluang dalam politik.

Selain itu, politik dinasti membawa implikasi buruk bagi citra partai-partai pendukungnya. Partai yang mendukung Gibran, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering dicap sebagai aktor politik yang melanggengkan budaya patronase.

Akibatnya, mereka menghadapi tantangan dalam meyakinkan publik bahwa Gibran dipilih karena kapabilitasnya, bukan sekadar posisinya sebagai bagian dari keluarga presiden. Stigma ini bisa menjadi hambatan besar bagi Gibran untuk melangkah lebih jauh dalam karier politiknya.

Miskin Pengalaman Politik

Sebagai politisi muda, rekam jejak politik Gibran masih tergolong pendek. Ia baru terjun ke dunia politik pada 2020 dan langsung menjabat sebagai Wali Kota Solo. Meskipun ia berhasil menjalankan sejumlah program di Solo, pengalamannya dianggap belum cukup matang untuk menghadapi tantangan politik di tingkat nasional.

Banyak pihak memandang langkah politiknya terlalu cepat dan berisiko bagi stabilitas partai atau koalisi yang mendukungnya.

Minimnya pengalaman ini juga memunculkan keraguan terhadap kapasitas kepemimpinannya, terutama jika dihadapkan pada isu-isu kompleks yang melibatkan kepentingan publik yang lebih luas.

Berita lainnya !

Bagikan:

Avatar photo

Firman Panipahan

Penulis merupakan Editor Journal of Islamic Thought and Philosophy, Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Tinggalkan komentar