Di negeri yang katanya kaya raya ini, kehidupan rakyatnya justru dihabiskan dalam barisan. Seolah-olah antrian adalah bagian tak terpisahkan dari takdir sosial.
Dari pagi hingga malam, berbagai kelompok usia sibuk berdiri, menunggu giliran mereka untuk sekadar mendapat hak dasar.
Nenek-nenek rela berlama-lama di depan loket BPJS demi pengobatan murah, bapak-bapak menunggu jatah Pertalite agar motornya tetap melaju, ibu-ibu berebut tabung LPG tiga kilogram untuk memasak, dan anak-anak muda berdesakan mencari secercah harapan dalam lowongan kerja yang semakin langka.
Fenomena ini bukan sekadar ironi kehidupan, melainkan sebuah refleksi sosial yang mendalam tentang ketimpangan, birokrasi yang karut-marut, dan kegagalan sistem ekonomi yang berjanji makmur tetapi lebih sering memperpanjang derita.
Dalam tulisan ini, kita akan membedah realitas ini dengan pisau teori sosial yang tajam, sekaligus mempertanyakan: benarkah ini negeri yang katanya adil dan sejahtera?
Antrian sebagai Simbol Ketimpangan Struktural
Sosiolog Pierre Bourdieu menegaskan bahwa struktur sosial tidak pernah netral. Kekuasaan, modal ekonomi, dan modal budaya menentukan siapa yang berada di depan dan siapa yang harus menunggu lebih lama.
Dalam kasus antrian rakyat ini, jelas bahwa mereka yang memiliki akses terhadap modal lebih besar tidak perlu ikut mengantri. Para elite tinggal duduk manis, mengangkat telepon, dan segalanya tersedia. Namun, bagi rakyat biasa, hidup adalah tentang menunggu—menunggu kesempatan, menunggu kebijakan yang adil, dan sering kali menunggu keajaiban.
Ketimpangan ini semakin dipertegas oleh Karl Marx dalam teori pertentangan kelasnya. Dalam perspektif marxisme, antrian bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi cerminan nyata dari bagaimana kapitalisme membagi sumber daya secara tidak merata.
Kaum proletar harus bersusah payah mengakses kebutuhan dasar, sementara borjuasi menikmati kemewahan tanpa hambatan.
Birokrasi: Mesin Pelambatan yang Sistematis
Max Weber menyebut birokrasi sebagai sistem yang terstruktur dan hierarkis, tetapi dalam praktiknya di negeri ini, birokrasi justru menjadi labirin yang melelahkan. Sistem yang seharusnya mempercepat pelayanan justru menjadi mekanisme pelambatan yang terstruktur.
Antrian di BPJS, misalnya, bukan hanya tentang mendapatkan pelayanan kesehatan, tetapi juga mencerminkan bagaimana negara memperlakukan warganya dengan prosedur yang membingungkan dan kadang tidak manusiawi.
Begitu pula dengan antrian Pertalite dan LPG, yang sebenarnya bisa diatasi jika tata kelola energi lebih baik. Namun, sistem subsidi yang tidak jelas dan distribusi yang tidak merata membuat rakyat harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang seharusnya mudah diakses.
Lalu, ada antrian panjang di bursa kerja, yang menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan dalam menciptakan tenaga kerja yang siap pakai. Pemerintah terus berbicara tentang bonus demografi, tetapi tanpa kebijakan ekonomi yang konkret, bonus ini berubah menjadi bencana.
Anak-anak muda dididik dengan teori tinggi, tetapi saat lulus, mereka dihadapkan pada realitas pahit: tidak ada pekerjaan yang sesuai, kecuali mereka punya "orang dalam."
Negeri yang Kaya, Rakyatnya Mengantri
Jika Adam Smith hidup di negeri ini, mungkin ia akan mempertanyakan teori pasar bebas yang selama ini diagungkan. Bagaimana bisa negara yang katanya kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya justru hidup dalam antrian?
Mungkin kita perlu mengubah lambang negara, dari Garuda Pancasila menjadi gambar manusia berbaris, dengan tulisan "Mengantri adalah Takdirku." Atau mungkin, kita butuh lagu kebangsaan baru yang liriknya berbunyi: "Dari antri, kita lahir, dalam antri kita besar, dan dalam antri kita menunggu janji-janji yang tak pernah tiba."
Satir ini bukan untuk sekadar sarkasme, tetapi sebagai pengingat bahwa kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Antrian panjang ini bukan hanya soal teknis distribusi, tetapi masalah fundamental dalam tata kelola negara.
Dari Antrian ke Perubahan?
Realitas ini adalah hasil dari kebijakan yang lebih sering berbasis retorika ketimbang aksi nyata. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam tata kelola ekonomi, birokrasi, dan distribusi sumber daya, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi budaya antrian yang semakin panjang.
Sudah saatnya kita berhenti menerima antrian sebagai kewajaran. Negeri ini membutuhkan revolusi dalam cara berpikir dan bertindak. Jika sistem tetap membiarkan rakyatnya menunggu tanpa kepastian, maka antrian berikutnya mungkin bukan untuk Pertalite atau BPJS, tetapi untuk perubahan yang lebih besar: perubahan sistem yang lebih adil dan manusiawi.
Sebab pada akhirnya, masyarakat tidak boleh hanya sekadar menjadi penunggu dalam barisan panjang kehidupan. Mereka berhak atas negara yang benar-benar melayani, bukan yang sekadar mengatur barisan.