Tapi, bener nggak sih hukum ini dijalankan buat kebaikan? Atau malah cuma jadi “palu godam” buat siapa aja yang ngomong dikit aja soal agama? Kalau kita pakai konsep maslahah, artinya aturan ini perlu dipertimbangkan ulang, jangan sampai malah menekan kebebasan berekspresi tanpa sebab jelas.
Bayangin kalau seseorang menyampaikan opini ilmiah atau sekadar kritis tanpa maksud menghina, tapi langsung dihadapkan ke pengadilan. Apa ini bener-bener buat kemaslahatan?
Menurut maslahah, sebaiknya aturan ini lebih fleksibel dan nggak gampang menyasar siapa aja yang sekadar ngomong beda. Kalau setiap ekspresi dikit-dikit dianggap menista, malah bahaya buat kebebasan berekspresi dan akhirnya “ketenangan” yang diciptakan jadi terlalu kaku.
Kesimpulan: Serius atau Nggak Nih dengan Pasal Penistaan Agama?
Jadi, kalau dipikir-pikir lagi, aturan tentang delik penistaan agama di Indonesia ini bisa dibilang sah-sah aja kalau dilihat dari kaca mata teori ushul fiqh. Tujuannya buat ngelindungi agama dan masyarakat, biar nggak gampang rusuh cuma gara-gara omongan yang menyinggung.
Dari maqashid syariah sampai dar’ul mafasid, semua teori ini mendukung hukum ini, dengan tujuan menjaga ketertiban.
Tapi, di sisi lain, aturan ini bisa banget disalahgunakan. Kalau hukum ini nggak dievaluasi, jangan kaget kalau ada orang yang “kena pasal” cuma karena kritik atau beda pandangan yang sebenarnya nggak bikin rusuh.
Jadi, sebaiknya pasal ini lebih fokus buat ngejerat orang yang jelas-jelas niatnya buat menyulut kebencian, bukan sekadar ngomong beda atau kritis.
Kalau hukum ini benar-benar mau membawa “kebaikan” atau maslahah, mendingan aturan ini dibikin lebih objektif, biar orang nggak merasa dicekal cuma karena ngomong soal agama.
Kasih ruang buat dialog dan kritik yang sehat, tapi tetep kasih batasan yang tegas buat orang yang sengaja bikin rusuh. Cuma dengan cara ini, kita bisa dapet “ketenangan” yang bener-bener bikin nyaman semua pihak.