Ketidakhadiran Megawati: Drama Politik di Balik Pelantikan

Megawati

Minggu, 20 Oktober 2024, seharusnya menjadi hari bersejarah, sebuah momen sakral di mana Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Namun, dari sudut lain, drama politik justru terlihat lebih menarik: absennya Megawati Soekarnoputri, presiden kelima Indonesia, di tengah panggung yang semarak. Kabar ketidakhadirannya, yang diakibatkan oleh kondisi kesehatan pasca-perjalanan ke Uzbekistan, menggugah tanya, apakah ini hanya kebetulan atau ada makna yang lebih dalam?

Mari kita mulai dari instruksi Megawati kepada kader PDI Perjuangan. Meskipun dia tidak hadir secara fisik, semangatnya tampaknya tetap berkobar. Dia mengeluarkan perintah untuk seluruh kader PDI Perjuangan hadir dan menyukseskan acara, bahkan tanpa izin untuk keluar negeri atau keluar kota pada hari itu.

Mungkin, Megawati ingin mengingatkan semua orang bahwa meski dia tidak ada di tempat, dia masih memegang kendali—seperti penguasa yang mengawasi kerajaannya dari jauh.

Mobilisasi Kader: Antara Instruksi dan Kewajiban

Di sinilah teori mobilisasi politik bermain. Dalam konteks ini, mobilisasi adalah tentang bagaimana para pemimpin (atau mantan pemimpin) menggerakkan basis dukungan mereka untuk tujuan tertentu. Di dalam dunia politik, instruksi yang kuat bisa jadi lebih berpengaruh daripada kehadiran fisik. Dengan menekankan pentingnya kehadiran kader, Megawati mungkin sedang melakukan manuver politik untuk menunjukkan bahwa meskipun dia tidak berada di garis depan, ia masih mempengaruhi arena permainan.

Baca Juga !  Dua Dosen Universitas Trunojoyo Madura Berkiprah di Kancah Nasional dan Internasional

Namun, mari kita renungkan sejenak: seberapa efektifkah instruksi ini? Apakah para kader benar-benar bersemangat untuk hadir hanya karena ada perintah dari atas, atau mereka datang lebih karena rasa takut kehilangan posisi dan reputasi? Dalam politik, loyalitas sering kali berjalan beriringan dengan kepentingan. Dan di sinilah kita bisa melihat bahwa mobilisasi bukan hanya tentang semangat, tetapi juga tentang strategi dan pragmatisme.

Ketika anggota PDI Perjuangan hadir dalam pelantikan, mereka bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban, tetapi juga menunjukkan loyalitas terhadap partai. Mereka harus tampil solid di hadapan publik dan menegaskan bahwa meskipun sang pemimpin absen, partai tetap kompak. Namun, bayangkan jika ada di antara mereka yang berpikir, “Ah, capek juga ya, hadir di acara ini hanya karena Ibu Mega tidak mau ketinggalan berita.”

Media dan Persepsi Publik: Momen Penuh Ironi

Di sisi lain, mari kita perhatikan bagaimana media menangkap momen ini. Ketidakhadiran Megawati menjadi bahan bakar yang sempurna untuk berita. Media, dengan gaya sensasionalnya, mungkin akan menggambarkan momen ini sebagai “drama politik” yang menarik, di mana Megawati, sebagai tokoh sentral, memilih untuk absen dari perayaan besar.

Tanpa disadari, ketidakhadiran ini justru menambah bumbu pada cerita politik yang sudah cukup beraroma.Bayangkan judul berita: “Megawati: Ibu yang Ternyata Juga Butuh Istirahat.” Atau “PDI Perjuangan Tanpa Mega: Apakah Ini Pertanda Perubahan?” Media, sebagai penggiring opini publik, memiliki kekuatan untuk menciptakan narasi. Dalam hal ini, absennya Megawati bisa jadi dilihat sebagai indikasi bahwa mungkin ada ketidakpastian dalam partai yang bersejarah ini.

Baca Juga !  Cagub Nomer Urut 01 targetkan 70 Persen Suara di Bangkalan

Apakah PDI Perjuangan akan tetap solid tanpa tangan besi Megawati?Tentu saja, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kehadiran mantan presiden lainnya, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, membuat panggung semakin meriah. Sementara Megawati memilih beristirahat, mereka menunjukkan diri dan seakan berkata, “Kami masih ada, dan kami siap untuk bermain.” Ironis, bukan? Ketika yang lain memilih untuk bersinar, salah satu bintang terbesarnya justru memutuskan untuk duduk di bangku penonton.

Berita lainnya !

Bagikan:

Tinggalkan komentar