Surabaya, ibu kota Jawa Timur yang dikenal sebagai pusat bisnis dan pendidikan, belakangan kerap disorot karena fenomena migrasi besar-besaran dari Madura.
Banyak pihak menyebut Surabaya “terjajah” oleh orang Madura, mengingat kehadiran mereka yang mencolok di berbagai sektor kehidupan kota ini. Namun, apakah ini benar-benar penjajahan atau sekadar bentuk simbiosis sosial-ekonomi?
Komunitas Madura di Surabaya: Dominasi dan Budaya
Data menunjukkan, warga asal Madura menjadi salah satu kelompok migran terbesar di Surabaya. Mereka mendominasi sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, hingga buruh kasar.
Di beberapa kawasan seperti Dupak dan Bulak Banteng, komunitas Madura bahkan membentuk kantong-kantong budaya dengan tradisi dan bahasa yang masih sangat kental.
Salah satu alasan dominasi ini adalah kedekatan geografis antara Surabaya dan Madura. Hanya dengan menyeberangi Jembatan Suramadu, warga Madura dapat dengan mudah mengakses peluang ekonomi di Surabaya yang jauh lebih besar dibanding kampung halaman mereka.
Sayangnya, kehadiran mereka kerap disertai stigma negatif, seperti dianggap kurang disiplin atau memicu kekacauan dalam tata ruang kota.
Kontribusi Ekonomi yang Signifikan
Namun, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, kontribusi warga Madura sebenarnya signifikan. Mereka mengisi celah di sektor tenaga kerja yang sering diabaikan oleh penduduk lokal.
Selain itu, pasar-pasar tradisional dan jasa transportasi informal di Surabaya bergantung pada keberadaan mereka.
Di sisi lain, masalah tetap ada. Tingginya urbanisasi dari Madura ke Surabaya memunculkan persoalan sosial seperti permukiman kumuh, tekanan terhadap layanan publik, dan ketegangan budaya.
Pemerintah Kota Surabaya harus mencari solusi untuk mengelola fenomena ini agar tetap inklusif tanpa mengorbankan tatanan kota.
Satu pemikiran pada “Surabaya: Kota Metropolitan yang ‘Dijajah’ oleh Orang Madura?”