Maka atas dasar keimanan kalangan ulama terhadap segala hal yang di luar dimensi fisik, atau yang juga disebut dengan yang ghaib, mereka memahami bahwa perjalanan yang ditempuh Nabi adalah perjalanan rohaniah atau perjalanan non-fisik sehingga hal itu lebih mudah untuk dapat diterima oleh penjelasan rasional.
Kedua, Perjalanan Nabi dalam Isra’ Mi’raj adalah perjalanan fisik sekaligus rohaniah. Penjelasan ini juga tidak kalah populer dengan penjelasan yanh sebelumnya. Dalam hal ini, ulama berpendapat bahwa perjalanan sakral ini adalah sepenuhnya ditempuh oleh kesadaran badaniah Nabi dan sekaligus spiritualnya.
Hal tersebut tentu saja juga didasarkan pada ingatan seorang Nabi yang begitu detail menyampaikan apa saja yang telah dilaluinya selama perjalanan singkat itu. Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam mengisahkan perjalanannya tidak secara parsial yang secara tiba-tiba berada di Masjidil Aqsha dan tiba-tiba berada di langit untuk berjumpa Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan terlebih lagi, momen negoisasi yang dilakukan berulang-ulang oleh Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Allah, atas dorongan Nabi Musa ‘Alaihi Salam agar memangkas jumlah shalat yang diwajibkan bagi umatnya, hal tersebut tentu saja tidak dimungkinkan jika tanpa adanya kesadaran fisik dan pertimbangan manusiawi yang juga turut hadir dalam perjalanan super magis ini.
Berangkat dari semua rangkaian kejadian tersebut, maka kesimpulan ulama berlabuh pada pemahaman bahwa perjalanan Nabi baik pada saat Isra’ maupun Mi’raj sepenuhnya adalah pejalanan kesadaran fisik sekaligus kehadiran roh selama peristiwa itu terjadi.
Begitulah bagaimana perbedaan pendapat ulama mengenai perjalanan sakral dan magis ini yang menjadi titik awal perintah beribadah sholat lima waktu yang telah diwajibkan kepada seluruh umat Islam di seluruh dunia.
Sekalipun kapasitas artikel ini sangat jauh dari pembahasan yang rumit dan akademik, namun setidaknya dapat dipahami oleh para pembaca sebagai bekal awal untuk memahami peristwa besar ini.