Sabotase Politik dalam Pilkada Sampang: Peran Lembaga Pengawas yang Dipertanyakan

Pilkada Sampang

APK adalah simbol dari kekuatan politik yang diwakili oleh paslon. Merusak APK, dalam konteks ini, adalah bentuk perlawanan terhadap simbol kekuasaan lawan politik. Tindakan ini bukan hanya sekadar vandalisme, tetapi juga manifestasi dari konflik kekuasaan yang sedang berlangsung.

Teori Kelembagaan Politik: Bawaslu yang Lumpuh dalam Menegakkan Hukum

    Dalam pandangan Douglas North, kelembagaan politik memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan kelancaran proses demokrasi. Namun, kasus perusakan APK di Sampang menunjukkan kelemahan kelembagaan Bawaslu. Alih-alih menjadi pengawas yang tanggap dan tegas, Bawaslu justru terkesan tidak profesional dan lamban dalam merespons pelanggaran.

    Fenomena ini mencerminkan kegagalan institusi politik di Indonesia untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Tidak adanya sanksi yang jelas bagi para pelaku perusakan memberikan sinyal buruk bagi demokrasi di tingkat lokal.

    Teori Komunikasi Politik: Perusakan APK sebagai Sabotase Informasi

      Dalam teori komunikasi politik, APK adalah media penting bagi paslon untuk berkomunikasi dengan pemilih. Melalui APK, calon berupaya menyampaikan visi, misi, dan program kerja mereka. Ketika APK dirusak, proses komunikasi ini terganggu. Hal ini tidak hanya berdampak pada paslon, tetapi juga pada pemilih yang kehilangan akses terhadap informasi yang seharusnya mereka terima.

      Perusakan APK adalah bentuk sabotase komunikasi politik yang berupaya memanipulasi persepsi publik dengan cara meredam eksistensi paslon tertentu. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan Bawaslu untuk merespons secara cepat memperburuk situasi ini, menciptakan kekosongan komunikasi yang berisiko bagi proses demokrasi.

      Baca Juga !  Derby London Jilid Dua: Crystal Palace Siap Balas Dendam pada Arsenal di Premier League

      Teori Spiral of Silence: Menciptakan Ketakutan di Kalangan Pendukung

        Fenomena perusakan APK juga bisa dijelaskan melalui teori “Spiral of Silence” yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann. Menurut teori ini, orang yang merasa pendapatnya tidak populer cenderung diam untuk menghindari isolasi sosial. Dengan merusak APK, pelaku berusaha menciptakan ilusi bahwa paslon tertentu tidak mendapat dukungan.

        Ini bisa memicu efek spiral of silence di mana pendukung paslon tersebut merasa takut atau enggan menunjukkan dukungan secara terbuka karena merasa bahwa mereka adalah minoritas. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya bebas diisi oleh berbagai pandangan menjadi terpolarisasi dan didominasi oleh suara-suara yang lebih berani melakukan intimidasi.

        Berita lainnya !

        Bagikan:

        Tinggalkan komentar