Esai – Pemerintah Provinsi Jawa Timur kembali menyalurkan bantuan sosial dan program pemberdayaan masyarakat kepada Bupati Bangkalan dengan nilai mencapai Rp7,62 miliar. Ini merupakan langkah positif dan patut diapresiasi sebagai wujud hadirnya negara dalam menjawab persoalan sosial yang masih kompleks di daerah-daerah, termasuk di Madura.
Namun, penulis sebagai kader PMII tidak bisa hanya berhenti pada tepuk tangan seremonial. Dalam konteks tanggung jawab sosial dan kemahasiswaan, bantuan ini juga harus dikawal agar benar-benar menyentuh kebutuhan riil masyarakat dan tidak berhenti pada seremoni penyerahan atau pencitraan semata.
Bantuan sosial bukanlah hadiah dari kekuasaan, melainkan hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi dan nilai-nilai keadilan. Dalam perspektif hablum minannas, setiap bentuk intervensi negara kepada rakyatnya harus dilandasi oleh itikad untuk memuliakan manusia, bukan sekadar memenuhi target administratif atau statistik.
Disebabkan itu, penting untuk memastikan bahwa bantuan sosial yang diberikan tidak hanya bersifat karitatif sesaat, tapi menjadi bagian dari proses transformasi sosial yang berkelanjutan.
Penulis menyoroti pentingnya kejelasan dalam distribusi bantuan dan akurasi data penerima manfaat. Pengalaman di banyak tempat menunjukkan bahwa bantuan sosial sering kali rawan disalahgunakan baik karena lemahnya sistem pendataan maupun karena intervensi kepentingan politik lokal.
Sebagai umat Muslim merasa perlu percaya bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus diwujudkan dalam bentuk pengawalan kebijakan publik. Kami mendorong agar proses distribusi bantuan ini disertai dengan mekanisme pengawasan yang partisipatif dan terbuka. Pemerintah daerah tidak boleh bekerja sendiri harus melibatkan masyarakat sipil, termasuk sekitarnya.
Dalam aspek pemberdayaan, penulis mengingatkan agar program yang dijalankan tidak hanya berbasis proyek dan pelatihan sesaat. Pemberdayaan sejati adalah proses panjang yang menyentuh dimensi pengetahuan, kesadaran kritis, dan keberdayaan ekonomi warga.
Penting untuk menghadirkan model pemberdayaan yang tidak meninabobokan masyarakat, tapi justru mengajak mereka bangkit dengan potensi yang dimiliki. Dalam konteks ini, pendidikan rakyat, penguatan komunitas, dan pendampingan langsung menjadi pilar yang tidak boleh diabaikan.
Penulis merasa perlu mengingatkan bahwa bantuan sosial adalah instrumen negara dalam merawat keadilan sosial dan menjaga harkat rakyat kecil. Jika tidak diawasi dengan sungguh-sungguh, ia bisa berubah menjadi alat politisasi atau bahkan ketidakadilan yang baru.
Dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin, serta nilai-nilai tawasuth, tawazun, dan ta’addul yang menjadi prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah, selaku kader PMII akan terus menjadi mitra kritis pemerintah, serta mengawal bantuan sosial bukan hanya sikap politik tetapi bagian dari ibadah sosial, khidmah, dan keberpihakan terhadap mereka yang terpinggirkan.