Esai – Pembangunan di Bangkalan menghadapi ujian ganda yakni menumbuhkan ekonomi tanpa menggerus lingkungan, dan bagaimana menjamin bahwa perempuan yang sering berada di garis depan kehidupan sehari-hari tidak tertinggal dalam proses transformasi itu.
Kabupaten Bangkalan tak asing pada tantangan degradasi lingkungan, eksploitasi sumber daya, serta ketimpangan ekonomi yang masih membayangi. Di sisi lain, data terbaru menunjukkan peluang yang harus dimanfaatkan.
Menurut Statistik Daerah Kabupaten Bangkalan 2024, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang 15,50 % terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah ini.
Sementara itu, sektor pertanian rakyat termasuk tanaman unggulan seperti mangga masih menjadi andalan masyarakat lokal, dengan produksi mangga sebesar 168.068 kuintal pada tahun 2023.
Jika pengelolaan sektor-sektor ini terus mengikuti pola konvensional ekstraktif, berbasis volume, dan minim perhatian ekologis, maka kemungkinan besar Bangkalan akan terus mengalami kerusakan lingkungan, pencemaran, dan tekanan sosial terhadap masyarakat lemah.
Di tengah realitas tersebut, gagasan ekonomi hijau sangat relevan. Bahwa pembangunan yang “hijau” tak hanya menghindari kerusakan, tetapi juga memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Namun, jika strategi hijau itu dilaksanakan tanpa pertimbangan gender, maka sesungguhnya pembangunan itu tidak adil. Advokasi perempuan menjadi unsur kunci agar transformasi hijau tidak merugi atau mengeksklusi kaum perempuan.
Di tingkat nasional dan regulatif, ada pijakan penting yang mendukung gerakan ini. Instrumen pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) diformalkan dalam kebijakan PUG yang sejak Inpres Nomor 9 Tahun 2000 memang telah mewajibkan bahwa setiap perencanaan pembangunan memperhatikan aspek gender.
Regulasi lingkungan pun semakin membuka ruang bagi partisipasi perempuan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mensyaratkan konsultasi publik yang mencakup kelompok perempuan dan laki-laki, sebagai bagian dari analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Selain itu, kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus melakukan pembaruan regulasi agar aparat struktural memiliki unit dan kebijakan responsif gender.Namun, pijakan regulatif saja tidak cukup.