Sabotase Politik dalam Pilkada Sampang: Peran Lembaga Pengawas yang Dipertanyakan

Pilkada Sampang

Potret Suram Demokrasi di Pilkada Sampang

Pilkada merupakan momen penting dalam proses demokrasi yang idealnya memungkinkan rakyat untuk menentukan pemimpin yang mereka inginkan. Namun, dalam kenyataannya, proses ini seringkali dibayangi oleh berbagai masalah yang merusak integritas pemilihan itu sendiri.

Salah satu contoh nyata adalah Pilkada Sampang 2024, yang diwarnai oleh perusakan alat peraga kampanye (APK) pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Slamet Junaidi dan Ahmad Mahfudz Abdul Qodir.

Kasus ini mencuat setelah tim pemenangan paslon 02 melaporkan bahwa lebih dari dua puluh APK mereka telah dirusak oleh oknum tak dikenal. Bahkan, APK berukuran besar yang dipasang di Desa Taman Sareh, Kecamatan Sampang, dibakar pada dini hari.

Pengaduan ini telah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), namun respons tegas dari pihak berwenang masih nihil. Hal ini memicu kritik keras dari tim pemenangan yang menilai bahwa Bawaslu telah gagal menjalankan perannya sebagai pengawas demokrasi.

Demokrasi yang Tergadaikan oleh Ketidakberdayaan

Dari latar belakang tersebut, muncul beberapa pertanyaan penting terkait kualitas demokrasi dan penegakan hukum dalam Pilkada Sampang:

  1. Mengapa tindakan perusakan APK terjadi begitu masif dan terorganisir?
  2. Apa yang menyebabkan Bawaslu gagal merespons secara cepat dan tegas dalam menindak pelanggaran ini?
  3. Bagaimana peran lembaga pengawas dan masyarakat dalam mengawasi proses pemilu?
  4. Bagaimana teori sosial, politik, dan komunikasi dapat menjelaskan fenomena ini?
Baca Juga !  Debat Pilgub : Luluk Sebut Masyarakat Madura Termarjinalkan

Fakta Lapangan : Perusakan APK yang Tak Terkendali

Berdasarkan laporan tim pemenangan paslon 02, puluhan APK telah dirusak di berbagai wilayah Kabupaten Sampang. Kerusakan ini terjadi secara sistematis, dan salah satu yang paling mencolok adalah pembakaran APK berukuran 3×5 meter di Desa Taman Sareh pada 17 Oktober 2024.

Ketua Divisi Hukum Jimad Sakteh, H. Achmad Bahri, mengungkapkan bahwa perusakan ini hanya sebagian kecil dari gunung es pelanggaran yang sebenarnya terjadi di lapangan. Banyak pelanggaran lainnya yang belum terlaporkan, dan tim pemenangan menilai Bawaslu telah vakum dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Kondisi ini semakin memperburuk suasana Pilkada, di mana pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk menjaga integritas pemilihan justru seakan-akan abai. Menurut pengacara Jimad Sakteh, Didiyanto, Bawaslu seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum selama Pilkada. Namun, lemahnya tindakan Bawaslu membuka celah bagi potensi pelanggaran yang lebih besar, termasuk manipulasi data pemilih pada hari pencoblosan.

Analisis : Ketika Demokrasi Hanya Jadi Wacana

Teori Konflik Sosial: Demokrasi Sebagai Arena Pertarungan Kekuatan Politik

    Fenomena perusakan APK dalam Pilkada Sampang dapat dijelaskan melalui teori konflik sosial yang dikemukakan oleh Karl Marx. Dalam teori ini, masyarakat selalu dibagi ke dalam kelas-kelas yang saling bertarung untuk memperoleh kekuasaan. Pilkada bukan sekadar kontestasi politik yang sehat, melainkan medan perang antara kekuatan yang ingin mendominasi.

    Berita lainnya !

    Bagikan:

    Tinggalkan komentar