10 November: Memperingati Hari Pejuang Motor Brebet

Solehul Akmal(Ketua Umum FMB)

Esai – Tanggal 10 November selalu menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia tentang arti perjuangan, pengorbanan, dan semangat pantang menyerah. Hari Pahlawan bukan sekadar mengenang pertempuran di Surabaya pada tahun 1945, melainkan juga refleksi tentang bagaimana rakyat Indonesia bersatu menghadapi tekanan, ketidakpastian, dan ancaman terhadap kemerdekaan yang baru mereka raih.

Kala itu, dengan senjata seadanya dan semangat luar biasa, rakyat melawan pasukan Sekutu demi mempertahankan harga diri bangsa. Mereka tak gentar, karena perjuangan bukan hanya soal kemenangan fisik, melainkan tentang keberanian melawan ketidakadilan.

Masa kini, delapan dekade kemudian, semangat perjuangan itu seakan menemukan bentuk baru yang lebih subtil tetapi sama pentingnya perjuangan rakyat kecil menghadapi kebijakan yang belum berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik. Ironisnya, di momen yang berdekatan dengan Hari Pahlawan, masyarakat di berbagai daerah, termasuk Bangkalan, justru menghadapi pertempuran lain bukan melawan penjajah bersenjata, melainkan melawan kebijakan energi yang belum sepenuhnya matang.

Tragedi banyaknya pengendara motor di Bangkalan dan sekitar Blega mengeluhkan motor mereka brebet, mogok, dan tersendat setelah mengisi bahan bakar di SPBU tertentu. Mereka bukan berperang di medan tempur, tetapi di jalanan, dengan rasa cemas karena motor yang menjadi tulang punggung mobilitas dan ekonomi keluarga tiba-tiba tak bisa diandalkan.

Jika pertempuran Surabaya pada 1945 dipicu oleh ketidakadilan politik, maka fenomena motor brebet hari ini mencerminkan ketidakjelasan kebijakan publik. Dugaan bahwa penyebabnya adalah campuran etanol dalam bensin Pertalite menimbulkan keresahan luas.

Pemerintah memang mengusung niat baik melalui program bahan bakar campuran etanol (biofuel) untuk mengurangi ketergantungan pada minyak fosil, tetapi seperti halnya perjuangan dulu, kebijakan tanpa kesiapan dan pengawasan hanya akan menimbulkan “korban” baru kali ini bukan pejuang berseragam, melainkan rakyat kecil yang setiap hari mengandalkan motor untuk bekerja, berdagang, dan menafkahi keluarga.

Ketika Semangat Bung Tomo Tersendat di Tangki Motor bayangkan sejenak, seandainya Bung Tomo hidup di masa kini dan menyaksikan rakyat kecil yang berjuang melawan kesulitan akibat kebijakan yang tidak transparan.

seruan Bung Tomo bukan lagi “Merdeka atau Mati!”, melainkan “Data atau Mati Mesin!”. Dulu semangatnya menggelegar dari corong radio, membakar semangat rakyat untuk melawan penjajahan, kini gema perjuangan itu seakan tersendat di tangki motor rakyat yang tersumbat oleh kebijakan yang belum matang, apakah bangsa ini masih berani berkata benar ketika rakyat kecil menjadi korban dari eksperimen kebijakan?Bangkalan, yang dulu ikut merasakan semangat juang kemerdekaan, kini bisa menjadi simbol perlawanan baru bukan dengan senjata, tetapi dengan suara kritis dan tuntutan ilmiah.

Masyarakat Blega dan sekitarnya sudah menunjukkan gejala nyata bahwa ada yang perlu dikaji ulang.Pemerintah semestinya melakukan penelitian terbuka, audit menyeluruh terhadap SPBU, dan uji laboratorium yang dapat diakses publik.

Transparansi adalah bentuk keberanian modern, sebagaimana keberanian para pejuang mempertaruhkan nyawa di Surabaya.Peringatan 10 November, ada pesan reflektif yang patut direnungkan, pahlawan masa kini bukan hanya mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan di tengah kebijakan yang belum berpihak.

Berita lainnya !

Bagikan:

Tags

Tinggalkan komentar